Dua Prinsip Meraih Kemuliaan dan Kebahagiaan
Oleh:
Muhammad Ardiansyah[1]
Kemuliaan dan kebahagiaan adalah tujuan hidup yang ingin dicapai
setiap insan. Dan untuk mencapainya, berbagai jalan pun ditempuh. Ada yang
menempuh jalan jabatan. Foto ukuran super besar dipajang di mana-mana, dilengkapi
slogan-slogan indah dan obral janji. Dengan prinsip “pokoknya harus menang, pokoknya
harus terpilih”. Lalu jadi orang terpandang, jadi orang mulia dan hidup
bahagia.
Ada juga orang yang menempuh jalan popularitas untuk meraih kemuliaan
dan kebahagiaan. Ada yang ikut kontes kecantikan, ada yang mengobral anggota
tubuhnya di depan jepretan kamera, bahkan ada yang rela menyerahkan kehormatannya
kepada pihak-pihak tertentu. Tak peduli halal haram, tak peduli apa kata orang,
yang penting terkenal, yang penting di elu-elukan, yang penting karir melesat, begitu
mungkin pikir mereka. Ada lagi yang mencoba melakukan hal-hal gila untuk
terkenal dan dicatat dalam rekor nasional dan internasional.
Jalan lain yang banyak ditempuh untuk meraih kemuliaan dan
kebahagiaan adalah jalan harta. Siang malam yang ada di benak dan pikirannya
hanya uang, uang dan uang. Kadang berangkat anak masih tidur, pulang pun anak
sudah tidur lagi. Tak ada waktu sesaat bersama keluarga, bersama kerabat dan
sahabat, termasuk tak ada waktu bersama Tuhan.
Pertanyaannya, apakah kemudian jalan-jalan ini menyampaikan
seseorang kepada kemuliaan dan kebahagiaan? Ternyata, jalan-jalan tersebut
belum bisa menyampaikan seseorang kepada kemuliaan dan kebahagiaan. Faktanya,
banyak orang yang mencalonkan diri tapi tak terpilih. Ada yang terpilih, tapi
tumbang di tengah jalan karena tersandung masalah. Yang popular dan terkenal
pun tak selalu bahagia. Faktanya, banyak orang terkenal yang mengakhiri
hidupnya secara tragis, mulai dari kehidupan pribadi yang selalu dalam incaran
media, kecanduan narkotika sampai bunuh diri. Lalu yang banyak uang pun belum
tentu mulia dan bahagia. Apalah artinya uang melimpah jika kehidupan rumah
tangga berantakan, teman-teman tak lagi peduli bahkan komunikasi dengan Tuhan
pun putus. Padahal yang dicari adalah rezeki dari Tuhan.
Lalu bagaimana jalan yang tepat untuk meraih kemuliaan dan
kebahagiaan. Islam membentangkan jalan menuju kemuliaan dan kebahagiaan melalui
jalan ketaqwaan. Dalam pandangan Islam, orang mulia bukan orang yang paling
tinggi jabatannya, bukan orang yang paling terkenal dan bukan orang yang paling
banyak hartanya. Orang mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa
(QS al-Hujurat:13).
Taqwa merupakan wasiat Allah kepada semua umat manusia (QS
al-Nisa:131). Taqwa adalah istilah yang tidak asing bagi umat Islam. Setiap Jum’at,
khatib senantiasa mengingatkan agar kita selalu bertaqwa, dalam arti
melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Jadi taqwa
mempunyai dua rukun. Jika hanya satu, maka belum dikatakan taqwa. Orang yang
rajin shalat, rajin sedekah dan toleran belum dikatakan orang bertaqwa jika ia
masih sika berjudi, minum khamr, berzina dan sebagainya. Demikian juga
orang yang tidak pernah berjudi, tidak pernah berzina juga belum disebut orang
bertaqwa jika tidak pernah shalat, tidak pernah puasa Ramadhan dan sebagainya. Jadi
taqwa tidak boleh mencampur adukkan antara yang haq dan yang bathil.
Sebab itu, sungguh menggelikan jika ada seorang yang masih mengaku muslimah,
berjilbab dan bergelar Profesor Doktor dari Universitas Islam, lalu dengan
penuh keyakinan mengatakan bahwa seorang lesbi pun tetap berpotensi menjadi orang
yang bertaqwa.
Ibarat mobil, tentunya harus dilengkapi dengan gas dan rem. Ketika lampu
hijau, maka gas yang harus diinjak, bahkan bisa ditambah kecepatannya jika
keadaannya memungkinkan. Namun ketika lampu kuning, maka rem harus sudah
diinjak, dan harus diinjak lebih keras ketika lampu merah sudah menyala. Jika ketika
lampu hijau malah berhenti, dan ketika lampu merah malah berjalan, maka yang
timbul adalah kekacauan bahkan kecelakaan.
Begitulah gambaran taqwa. Ketika ada perintah, maka kita siap
melaksanakannya. Dan ketika ada larangan, kita pun harus siapa menjauhinya. Atau
dengan kata lain, taqwa itu maju mundur. Maju ketika ada perintah Allah swt,
dan mundur ketika ada larangan-Nya. Bukan sebaliknya. Mundur ketika ada
perintah, dan maju ketika ada larangan. Dan pelaksanaan taqwa itu harus
diiringi dua langkah prinsip utama yaitu kami dengar (sami’nâ) dan kami
taati (‘Atha’nâ).
Seberat apapun perintah Allah swt kepada kita, maka sesuai kedua
prinsip tadi kita harus melaksanakannya sesuai kemampuan. Ketika sedang enak
tidur, lalu lantunan adzan subuh memanggil kita untuk berkomunikasi dengan
Allah melalui shalat, maka kita harus melawan rasa kantuk itu dan segera
bergegas melaksanakan shalat subuh. Di saat kita memiliki banyak harta yang
sudah mencapai nishab-nya, maka kita harus segera mengeluarkannya dan
membagikannya kepada mereka yang berhak menerimanya. Bukan malah terus menahan
harta itu di genggaman kita. Begitu juga sikap kita terhadap perintah Allah swt
yang lain.
Sebaliknya, sebesar apapun keuntungan judi, senikmat apapun minum
khamr dan perbuatan zina menurut pandangan sebagian orang, namun ketika Allah
swt melarangnya, kita pun harus segera menjauhi dan meninggalkannya secara
total. Ingatlah, Allah tidak akan memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya
melainkan ada hikmah di balik perintah itu. Dan Allah juga tak pernah melarang
sesuatu kepada hamba-Nya melainkan ada bahaya yang timbul di balik larangan
itu.
Inilah jalan menuju kemuliaan dan kebahagian yang patut kita
tempuh. Peganglah prinsip kami dengar (sami’nâ) dan kami taati (atha’nâ),
lalu laksanakanlah segala perintah Allah swt dan jauhilah segala larangan-Nya,
niscaya kita akan menjadi orang mulia di sisi-Nya dan akan meraih kebahagiaan
yang hakiki serta abadi, di dunia maupu di akhirat.
walLâhu a’lam bis shawâb.
Jakarta, 9 November 2012
[1] Penulis Buku 10
Logika Liberal dan Jawabannya. Saat ini sedang menempuh Studi Doktor
Pendidikan Islam di Program Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun, Bogor.