Wednesday, August 22, 2012

KH Abdullah Syafi'ie:Ulama Pejuang

















KH Abdullah Syafi'ie:Ulama Pejuang*
oleh:
Muhammad Ardiansyah

Nama K.H. Abdullah Syafi’ie bagi kaum Muslim, khususnya warga Jakarta, tentunya sudah tidak asing lagi. Ulama karismatik ini dikenal dengan kedalaman dan keluasan ilmunya. Lebih dari itu, Abdullah Syafi’ie juga terkenal dengan ketegasan, kegigihan, dan semangat pantang mundur dalam memperjuangkan kebenaran Islam.
Ulama terkenal Prof KH Ali Yafie pernah mengatakan bahwa “K.H. Abdullah Syafi’ie adalah tokoh pemberani, ikhlas, dan tak jemu dalam berdakwah. Beliau sangat tegas dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.”
Kasus yang sangat monumental terjadi dalam penolakan RUU Perkawinan tahun 1974,”. RUU itu ditolak keras oleh umat Islam karena isinya yang sangat sekular. Puncak protes umat Islam, Akhirnya, massa Islam berhasil menduduki ruang sidang paripurna dan menggagalkan pengesahan RUU sekular tersebut.
Menurut KH Ali Yafie, pada saat itu gedung DPR diduduki siswa dan mahasiswa yang mayoritas pelajar dan mahasiswa Asy-Syafi’iyah. Kabarnya, salah satu aktor di belakang gerakan siswa dan mahasiswa ini adalah KH Abdullah Syafi’ie yang terus memberi semangat melalui siaran radio yang disiarkan setiap subuh.  Bahkan Menteri Agama saat itu, Mukti Ali terpaksa dibawa keluar DPR lewat pintu belakang karena gedung DPR dikepung para demonstran. (Lihat, KH Abdullah Syafi’ie di Mata Para Tokoh, Ulama, dan Cendekiawan Muslim, hlm: 36)
Kecintaan Kyai Abdullah Syafi’ie terhadap ilmu dan pendidikan juga luar biasa. Saat usia 18 tahun ia meminta ayahnya, H. Syafi’ie,  untuk menjual sapi-sapi miliknya yang kandangnya dibuat di samping rumah. Ia ingin menjadikan tempat tersebut untuk berkumpul dan mendalami serta mendiskusikan ilmu agama dengan teman-temannya. Ayahnya meluluskan. Itulah madrasah pertama yang didirikan KH Abdullah Syafi’ie pada tahun 1928.
Tahun 1933 KH Abdullah Syafi’ie berhasil melebarkan sayap dakwahnya dengan membeli sebidang tanah yang kemudian diwakafkan dan dijadikan masjid dengan nama Masjid al Barkah.  Sejak itulah Masjid al Barkah semakin dikenal karena keramaian jama’ah dan kepiawaian KH Abdullah Syafi’ie memikat hati jamaah dalam berbagai ceramahnya.

Tahun 1954, Kyai Abdullah Syafii membeli lagi tanah di depan Masjid al Barkah yang diniatkan untuk pengembangan Sekolah Menengah atau Tsanawiyah yang kemudian resmi dinamakan Perguruan As-Syafi’iyyah.  Di dalamnya ada lembaga pesantren untuk putra dan putri dan madrasah yang berjenjang mulai Ibtidaiyyah, Tsanawiyyah dan Aliyah. Dari hari ke hari, Perguruan As-Syafiiyah semakin berkembang.
Tahun 1967 Sang Kyai membuat terobosan besar dalam dakwah dengan mendirikan stasiun Radio As Syafi’iyah. Ini bisa dibilang baru dalam dunia dakwah. Salah satu tujuannya, membentengi umat dari kekuatan komunis yang saat itu telah mendirikan UR (Universitas Rakyat) dan memiliki pengaruh kuat. KH Abdullah Syafi’ie memanfaatkan media radio tersebut untuk membentengi umat dari paham komunis, perjudian, dan berbagai masalah yang dapat menghancurkan keimanan umat Islam.
Keunikan Kyai Abdullah Syafi’ie, ia bukan hanya mendirikan lembaga. Tapi, ia mengajar langsung murid dan santrinya.  Sesekali, Kyai masuk ke kelas-kelas, sekolah atau masjid dengan memberi dorongan dan keteladanan. Seorang alumni As-Syafi’iyah berbagi pengalaman, KH Abdullah Syafi’ie setidaknya datang ke sekolah tiap dua bulan. Dalam setiap kunjungannya, ia menulis kalimat bahasa Arab di papan tulis. Lalu dimintanya salah satu murid untuk mengi’rab (menganalisis secara tata bahasa Arab) kalimat tersebut. Jika murid tersebut berhasil mengi’rab dengan benar, maka beliau langsung mendo’akannya. Jika gagal, ia memberi peringatan keras dan mendorong murid belajar lebih giat. Dalam kegiatan pengajian pun, Kyai Abdullah Syafi’ie sangat memperhatikan bacaan para muridnya saat membaca kitab kuning,  sampai titik koma, dan tata bahasanya.

Pesan-pesanKH Abdullah Syafi’ie dikenal sebagai ulama yang sangat membenci kebodohan. Ia senantiasa mengobarkan semangat para murid dan santri agar bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Sebuah kata-kata hikmah dari Imam as-Syafii rahimahullah, yang sering ia kutip untuk para santrinya: “".
Dijelaskan oleh Sang Kyai: “Bercita-citalah seperti cita-cita para raja, terbanglah jiwamu setinggi-tingginya untuk mencapai cita-cita mulia. Pandanglah kehinaan diri sebagai kekufuran. Kehinaan diri karena tidak berilmu adalah suatu bentuk kekufuran, karena merupakan pengingkaran terhadap anugerah Allah yang memberi kedudukan kepada manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang sangat mulia, sebagaimana tersebut pula dalam hikmah yang lain kadal faqru an yakuna kufra (kefakiran itu dekat kepada kekafiran.”
Dalam sebuah khutbah Jumat, Kyai juga menyampaikan pesan: “Sejak dari Nabi Ibrahim bahkan dari rasul-rasul sebelumnya terpeliharalah nur ilahi atau cahaya Tuhan yang diwujudkan menjadi agama untuk menuntun hidup manusia menuju keselamatan dan kesejahteraan. Dipelihara dan dijaga dibela dan dipertahankan dengan segala daya dan kesanggupan dengan segala macam pengorbanan oleh pengikut-pengikut dan para pembela rasul-rasul dari segala macam kerusakan dan permainan hawa nafsu dan bujukan setan. Dari sejak itu sampai kepada masa kita sekarang ini dan seterusnya sampai kepada anak cucu kita turun temurun hingga hari kiamat. Kalau berhasil atau sekurang-kurangnya kuat hamba-hamba dan budak-budak hawa nafsu dan pengikut-pengikut iblis itu dalam usahanya menggelapkan nur Ilahi, agama Allah yang suci dan membuat wiswas dan keragu-raguan maka dunia ini banyaklah terdapat manusia yang hidup dalam kegelapan dan kesesatan tidak tahu jalan mana yang harus ditempuh untuk menuju keselamatan dan kesejahteraan.”

Penggalan khutbah yang ditulis KH Abdullah Syafi’ie itu meunjukkan bahwa Sang Kyai Betawi ini merupakan sosok yang sangat gigih dalam membela Islam dari berbagai pemikiran sesat yang berkembang pada masanya. Karena itulah, ia tidak pernah mengenal lelah dalam mengajar dan berjuang membela Islam, khususnya di wilayah Ibu Kota Jakarta.
Saat Gubernur Ali Sadikin melemparkan wacana agar “umat Islam yang meninggal dunia tidak perlu dikubur melainkan cukup dibakar saja karena tanah di Jakarta sudah mahal”, maka KH Abdullah Syafi’ie menjadi salah satu penentang terdepan.
Ia juga menolak legalisasi perzinahan dan perjudian yang ketika itu sedang diusahakan. Ia bukan hanya menentang melalui ceramah. Sang Kyai juga mendirikan Majlis Muzakarah Ulama dengan merangkul ulama lainnya seperti KH Abdussalam Djaelani, KH Abdullah Musa dan lain sebagainya. Dalam majlis itulah dibahas berbagai masalah umat dan bangsa, seperti soal perjudian, P4, kuburan muslim, dan sebagainya.  Saat ada wacana akan ada batasan azan subuh, Kyai juga muncul sebagai penentang keras kebijakan tersebut.
Saat pemerintah berencana melegalisasi Aliran Kepercayaan, KH Abdullah Syafi’ie juga termasuk orang yang keras menentang. Bahkan ia sampai mengumpulkan 1000 ulama yang memiliki integritas untuk berbaiat menolak kebijakan pemerintah tersebut. Kabarnya, itulah yang antara lain membuat Pak Harto mundur dari gagasannya.
Melalui radio yang dimiliknya, ia terus mengajak umat untuk melawan kebijakan yang menyudutkan umat Islam. Sikapnya berpedoman pada sabda Nabi:  “Qul al Haq wa lau kana murran” (katakanlah kebenaran, meskipun itu pahit). Kyai Abdullah Syafi’ie tidak segan dan gentar untuk berseberangan sikap dengan penguasa saat itu.
Namun sikap tegas tersebut, diimbangi dengan dakwah yang persuasif yang pada akhirnya meluluhkan sikap keras Ali Sadikin dan membuatnya berubah pikiran di hadapan KH Abdullah Syafi’ie. Karena itu, bukan aneh, jika KH Abdullah Syafi’ie memang seorang ulama yang sangat disegani oleh umat dan penguasa.
Kini, umat merindukan hadirnya ulama-ulama yang berilmu tinggi dan bermental singa seperti ini. (***)

*tulisan ini adalah makalah penulis di Pascasarjana UIKA yang kemudian diedit oleh INSIST dan diterbitkan di Jurnal Islamia Republika Edisi 22 Desember 2010

Tuesday, August 21, 2012

Dakwah Islam dan Tantangan Pemikiran Kontemporer


Dakwah Islam dan Tantangan Pemikiran Kontemporer
Oleh:
Muhammad Ardiansyah

I.    Pendahuluan
“Telah banyak tantangan yang muncul di tengah-tengah kekeliruan manusia sepanjang sejarah, tetapi barangkali tidak ada yang lebih serius dan lebih merusak terhadap manusia daripada tantangan yang dibawa oleh peradaban Barat hari ini”.[1]
Begitu pernyataan Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai peringatan bagi umat Islam. Tampaknya, apa yang dinyatakan oleh SMN al-Attas bukan lagi isapan jempol. Peradaban Barat kini menjelma dalam berbagai dimensi kehidupan umat Islam itu sendiri dalam bentuk empat F. Pertama Food (makanan). Saat ini para pemuda muslim lebih gandrung dengan hamburger, pizza, spageti dan sebagainya dibandingkan tahu, tempe, gado-gado yang menjadi makanan khas negeri sendiri. Padahal di negeri asalnya makanan-makanan siap saji tersebut sudah dianggap makanan sampah (junk food). Namun di sini ternyata menjadi makanan favorit yang cukup bergengsi.
Kedua Fun (hiburan). Lihatlah betapa umat Islam setiap hari dijejali berbagai hiburan ala Barat yang tidak mendidik. Jika di Barat ada Miss Universe, maka di negeri ini di-kloning menjadi Miss Indonesia. Jika di Barat ada American Idol, di sini pun tak ingin ketinggalan lalu membuat Indonesia Idol. Bahkan film-film tentang anak sekolah pun tak lagi mendidik sebab isinya hanya cerita tentang pacaran, dan pergaulan bebas ala Barat.
Ketiga, Fashion (Pakaian). Ironi, negeri dengan mayoritas penduduknya beragama Islam namun banyak umatnya yang lebih memilih berpenampilan ala Barat. Mulai dari pakaian yang memamerkan aurat hingga berpenampilan aneh-aneh dengan tato, gaya rambut yang macam-macam sampai tindikan anting di hidung, lidah dan sebagainya.
Keempat atau yang terakhir adalah Faith (keyakinan). Boleh dikatakan tantangan yang keempat ini adalah tantangan terbesar dakwah Islam saat ini. Betapa tidak! Tak sedikit kaum muslimin yang dibuat seolah terhipnotis dengan konsep dan metodologi Barat dalam masalah keyakinan dan beragama. Inilah tantangan yang sangat serius bagi umat Islam yang harus diwaspadai, karena dari tantangan pemikiran seperti ini akan berdampak pada kerusakan aqidah dan akhlak serta pemahaman umat Islam dalam memahami ajaran Islam.
Seperti apa sebenarnya tantangan pemikiran yang disebarkan oleh Barat? Bagaimana mereka menyebarkan paham dan konsep pemikirannya? Serta bagaimana seharusnya sikap kaum muslimin menghadapai tantangan pemikiran yang begitu masif disebarkan oleh Barat dan para pengagumnya? Makalah ini akan mencoba membahasnya secara singkat.

II. Tantangan Pemikiran Kontemporer
a.   Dari Pengkaburan Aqidah sampai Penggusuran Konsep Ilmu
Mencermati berbagai perkembangan pemikiran liberal di kalangan umat Islam, secara umum dapat dikatakan setidaknya ada tiga aspek penting yang sedang gencar diliberalkan. Pertama, pengkaburan aqidah dengan diusungnya paham pluralisme agama. Kedua, penghancuran syariat dengan perubahan metodologi ijtihad. Dan ketiga,penggusuran konsep ilmu dengan mempromosikan hermeneutika sebagai pengganti ilmu tafsir al-Qur’an.
Pluralisme agama[2] adalah paham yang didasarkan pada asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Bahkan siapapun nama Tuhannya bukan masalah. Apakah namanya Allah, Yahweh, Yesus itu bukan masalah. Mungkin para pemikir liberal ini setuju dengan William Shakesphare yang berpendapat apalah artinya sebuah nama?
Paham pluralisme ini jelas sangat berbahaya. Sebab jika paham ini diterima oleh umat Islam, maka sama dengan menghancurkan Islam itu sendiri. Berbagai istilah kunci akan hilang. Tidak ada lagi orang yang disebut kufur, musyrik, murtad dan sebagainya. Sebab menurut penganut paham pluralisme ini, inti ajaran agama adalah mengajarkan sikap pasrah, kebaikan dan kasih sayang. Jadi apapun agamanya, asalkan mengajarkan semua sikap tersebut dapat dikatakan sebagai Islam dan akan mendapat ridha Tuhan.
Selanjutnya syariat Islam juga coba “didobrak” dengan merubah metodologi ijtihad. Berbagai hukum Islam dibongkar dan diubah dan dipaksa tunduk kepada zaman. Seperti hukum pernikahan beda agama, hukum perzinahan, hukum pernikahan sejenis, hukum murtad dan sebagainya. Bagi kelompok liberal, agama adalah bagian dari proses dinamika sejarah. Sehingga semua agama termasuk Islam harus selalu berevolusi mengikuti perkembangan zaman.
Padahal, Islam bukan agama sejarah. Islam adalah agama wahyu. Islam adalah agama yang sudah sempurna sejak lahir. Bukan seperti agama lain yang merupakan produk sejarah. Jadi konsep aqidah, konsep syariat Islam itu bersifat final dan tidak berkembang mengikuti proses dinamika sejarah. Haramnya menyekutukan Allah swt, haramya berzina, haramnya babi, wajibnya shalat lima waktu, wajibnya zakat dan sebagainya berlaku final sejak awal hingga akhir zaman. Jadi tidak tunduk dan tidak usang dimakan waktu.
Terakhir adalah menggusur konsep ilmu dalam Islam –dalam hal ini ilmu tafsir al-Qur’an- dengan mempromosikan hermeneutika sebagai penggantinya, sebuah metode yang biasa digunakan untuk kritik Bibel. Penting untuk diketahui, terhadap hermeneutika, meski Vatikan secara umum bisa menerimanya sebagai interpretasi Bibel, namun demikian Vatikan juga menolak teori tertentu yang dianggap tidak memadai untuk menafsirkan Kitab Suci. Jadi meskipun menerima metode hermeneutika filsafat dalam penafsiran Bibel, Vatikan tetap bersikap selektif dan tidak membiarkan penafsiran liar yang dengan seenaknya memasukan makna yang bertentangan dengan ideologi Katolik.[3]
Lalu mengapa hermeneutika bisa diterima untuk penafsiran Bible di dunia Kristen Barat? Hal itu karena ada beberapa sebab dan problem akut yang dihadapi oleh mereka. Pertama, tidak adanya keyakinan dan kebenaran teks-teks Bibel menurut pakar Barat, sebab tidak ada bukti-bukti materiil yang meyakinkan dari teks-teks Bibel awal. Kedua, tidak ada ketetapan-ketetapan dari penafsiran-penafsiran yang dapat diterima menurut umum, termasuk di dalamnya tidak ada tradisi seperti ijma’ dan mutawatir sebagaimana kondisi umat Islam. Ketiga, tidak ada sekumpulan manusia yang hapal teks-teks yang hilang dan dilupakan selama perjalanan sejarah[4]
Bagaimana dengan al-Qur’an? Ketiga masalah yang dihadapi Bibel tidak ditemukan dalam tradisi peradaban Islam dan masalah keotentikan teks al-Qur’an secara khusus. Sebab al-Qur’an memang sangat berbeda dengan Bible. Al-Qur’an lafazh dan maknanya dari Allah banyak yang hapal dan diriwayakan secara mutawatir dan keasliannya disepakati oleh umat Islam sepanjang zaman. Adapun Bibel adalah produk sejarah yang di kalangan Kristen sendiri keaslian teksnya masih diperdebatkan dan juga tidak final karena terus berubah dari waktu ke waktu.[5]
Namun kelompok liberal kini menyamakan al-Qur’an dengan Bible dan kitab agama lain. Mereka menganggap bahwa al-Qur’an juga produk budaya (muntâj tsaqafi), atau teks manusia (nashun insâniyyun) atau teks sejarah (nashun târikhiyyun), akibatnya kesakralan al-Qur’an tidak lagi diperdulikan. Dengan memandang al-Qur’an sebagai produk budaya, maka muncul orang-orang yang berani melecehkan al-Qur’an. Masih teringat tragedi di salah satu perguruan tinggi Islam di Surabaya. Seorang dosen studi Islam menyatakan “Sebagai budaya, posisi al-Qur’an tidak berbeda dengan rumput.” Ia pun kemudian melakukan aksi “akrobat” dengan menulis lafazh Allah di secarik kertas lalu menginjaknya dengan sepatu sambil berkata “Al-Qur’an dipandang sakral secara substansi, tapi tulisannya tidak sakral.”
Selain itu, aplikasi metode hermeneutika untuk al-Qur’an ini akan bermuara pada relativisme tafsir yang dampaknya sangat berbahaya, karena bisa menghilangkan keyakinan akan kebenaran dan finalitas Islam, menghancurkan bangunan ilmu pengetahuan yang lahir dari al-Qur’an dan Sunnah dan juga menempatkan Islam sebagai agama sejarah yang selalu berubah mengikuti zaman. Singkatnya, penggunaan hermeneutika sebagai metode tafsir al-Qur’an akan berpotensi besar membubarkan ajaran-ajaran Islam yang sudah final. Dan itu sama dengan membubarkan Islam itu sendiri.[6]
Dengan hermeneutika hukum Islam menjadi tidak ada yang pasti, semua serba relatif. Tidak ada yang qath’i, semua zhanni sehingga penafsiran tentang batas aurat, hukum pernikahan beda agama dan sebagainya perlu dikaji ulang. Tafsir yang selama ini diajarkan para ulama dianggap “kadaluarsa” dan harus segera diganti dengan yang baru yaitu hermeneutika. 
Saat ini, kajian hermeneutika sudah masuk dalam salah satu mata kuliah studi Islam di sejumlah perguruan tinggi Islam menggantikan ilmu tafsir. Mereka latah dan menganggap semua yang baru pasti lebih bagus. Persis seperti istri Aladin yang menukar lampu lama dengan lampu baru yang di jajakan oleh tukang sihir. Ini adalah bencana besar dan akan berujung pada dekonstruksi dan desakralisasi teks al-Qur’an. Berbagai saran, kritik dan juga nasehat sudah disampaikan oleh sejumlah tokoh dan ulama. Namun hal itu tidak “digubris” oleh para dosen dan para akademisi di kampus-kampus tersebut. Semua hanya masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan, mereka tetap bertahan dan terus berjalan dengan programnya.
b.   Dari Lembaga Pendidikan sampai Tempat Hiburan
Boleh dikatakan arus liberalisasi Islam di negeri ini benar-benar serius dan begitu dahsyat. Meski dalam kebatilan, para pengusung ide liberalisme ini seperti tak pernah letih dan selalu mencari berbagai cara untuk meyakinkan bahwa liberalisme itu adalah suatu keniscayaan dan syarat mutlak untuk mencapai kemajuan. Mari kita lihat satu demi satu. Dimulai dari lembaga pendidikan tinggi Islam. Sekitar tahun 1970-an, seorang rektor perguruan tinggi Islam menulis buku yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (IDBA). Buku ini kemudian dijadikan buku pegangan wajib di berbagai perguruan tinggi Islam pada saat itu. Padahal dalam buku itu terdapat banyak kekeliruan mendasar antara lain disebutkan bahwa agama Yahudi sebagai agama yang memelihara kemurnian Tauhîd.[7] Dalam buku itu, penulisnya juga menyudutkan paham Asy’ariyah dan memuji-muji paham Mu’tazilah.[8] Kekeliruan lainnya juga dapat ditemukan dalam pembahasan seputar masalah hadits. Antara lain seputar kodifikasi hadits, kehujjahan Sunnah tidak sama dengan kehujjahan al-Qur’an, hanya hadits mutawatir yang bisa dijadikan hujjah, sedangkan kehujjahan hadits Ahad masih diperselisihkan dan sebagainya [9] 
Selanjutnya di sebuah perguruan tinggi Islam juga mulai dimasukkan mata kuliah Kajian Orientalisme Terhadap al-Qur’an dan Hadits yang tujuannya adalah agar mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan kajian orientalis terhadap al-Qur’an dan Hadits. Referensi yang digunakan adalah buku-buku seperti Rethinking Islam kayra Mohammed Arkoun, Studies in Early Muslim Jurisprudence karya Norman Calder dan sebagainya. Satu lagi mata kuliah Hermeneutika dan Semiotika yang bertujuan agar mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan ilmu hermeneutika dan semiotika terhadap kajian al-Qur’an dan hadits. referensi yang digunakan adalah buku-buku seperti Contemporery Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique karya Josef Bleicher, Semiotics and Philisophy of Language karya Eco Umberto dan sebagainya.[10] 
Lalu rektor IAIN Syarif Hidayatullah (1998-2005) yang juga dianggap cendekiawan muslim secara tegas menyatakan “Sebagai lembaga akademik, kendati IAIN terbatas memberikan pendidikan Islam kepada mahasiswanya, tetapi Islam yang diajarkan adalah Islam yang liberal. IAIN tidak mengajarkan fanatisme mazhab atau tokoh Islam, melainkan mengkaji semua mazhab dan tokoh Islam tersebut dengan kerangka, perspektif dan metodologi modern. Untuk menunjang itu, mahasiswa IAIN pun diajak mengkaji agama-agama lain selain Islam secara fair, terbuka, dan tanpa prasangka. Ilmu perbandingan agama menjadi mata kuliah pokok mahasiswa IAIN.” [11]
Arus liberalisasi di perguruan tinggi tadi akhirnya mengakibatkan berbagai tragedi keilmuan yang tidak bisa dielakkan. Salah satu yang sangat memprihatinkan adalah diluluskannya sebuah disertasi yang berjudul Persperktif al-Qur’an tentang Pluralitas Umat Beragama di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Argumen Pluralisme Agama. Oleh pembimbingnya dan sebagian besar pengujinya, disertasi ini mendapat banyak pujian dan dianggap telah melakukan sebuah terobosan, bahkan dikatakan bahwa disertasi tersebut telah mengungkap banyak informasi baru dalam literatur berbahasa Indonesia seputar tema relasi antar agama.
Padahal menurut salah satu pengujinya Prof Dr. Salman Harun, penulis disertasi tersebut salah memahami penggalan buku Syekh Nawawi al-Bantani tentang bisa atau tidaknya non-Muslim masuk surga. Selain itu, penulisnya juga dinilai tidak utuh mengutip Ibn Katsir. Sebab baik Ibn Katsir atau Syekh Nawawi al-Bantani berkesimpulan bahwa hanya Muslim yang masuk surga. Sementara penulis disertasi itu membuat kesimpulan berbeda yaitu non-Muslim juga bisa masuk surga. Selain itu, sebenarnya masih banyak data metodologi dan analisa yang perlu dipertanyakan dalam disertasi tersebut.[12]
Namun anehnya, para Profesor pembimbing dan penguji disertasi itu bisa sampai melewatkan kekeliruan yang sangat mendasar tersebut. Ini jelas merupakan suatu musibah besar, sebab apa yang bathil dan keliru justru dilegitimasi oleh sejumlah guru besar bidang agama. Dan yang lebih menyedihkan para doktor dan pakar-pakar al-Qur’an yang berjubel di UIN pun hanya membisu menghadapi tragedi ini. Tak ada yang coba menjawabnya dengan karya yang lebih baik dan sesuai dengan metodologi keilmuan yang benar. benarlah apa yang dikatakan Imam Syafi’i “Jika tak ada ulama yang menyebarkan ilmunya dengan tintanya, maka orang-orang zindiq akan menari di atas mimbar” (lau lâ Ahl al-Mahâbir lanathaqat al-zanâdiqatu ‘ala al-manâbir)[13]       
Umat Islam wajib tahu dan harus memahami bahwa arus liberalisasi di perguruan tinggi ini memiliki peran besar. Sebab dari sanalah para guru agama Islam yang mengajar di sekolah-sekolah menimba ilmu. Jika ilmu yang diterima sudah keliru, maka yang diajarkan kepada murid-muridnya di sekolahpun akan keliru. Akibatnya murid-murid itu “dijejali” materi studi Islam tapi menggunakan pisau analisis Barat. Ujung-ujungnya, mereka bukan tambah yakin terhadap Islam, tapi bertambah ragu, bukan bertambah rajin ibadah, justru akan meremehkan ibadah dan bukan bertambah berakhlak, tapi akan bertambah biadab.  
Penyebaran ide liberal juga dilakukan melalui tulisan. Saat ini, buku-buku tulisan kelompok liberal dapat ditemukan di sejumlah toko buku ternama di berbagai daerah dan bisa menjadi konsumsi umum. Dalam beberapa hari terakhir, penulis mengunjungi beberapa toko buku ternama yang ada di Jakarta. Dan benar saja, toko-toko buku tersebut dibanjiri dengan buku-buku “berbau” liberal dengan judul-judul seperti Islam dan Liberalisme, Argumen Kesetaraan Jender, Berislam Secara Toleran:Teologi Kerukunan Umat Beragama dan sebagainya. Selanjutnya, buku-buku tersebut biasanya dibedah dalam suatu forum diskusi di kampus-kampus dan sebagainya dengan menghadirkan sejumlah pemikir liberal.
Dan belakangan ini, yang menarik perhatian umat Islam adalah buku Allah, Liberty and Love tulisan Irshad Manji, seorang lesbian asal Kanada. Kelompok liberal ini mengundang langsung sang penulis dan memfasilitasi launching buku tersebut. Padahal buku Irshad Manji sebelumnya yang diberi judul Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini” isinya penuh penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw. Diskusi buku Allah Liberty and Love di teater Salihara memang sempat dibubarkan, Rektor Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta juga menolak diadakan diskusi di kampusnya. Namun anehnya, buku Allah, Liberty and Love itu malah didiskusikan di Universitas Islam Negeri (UIN), Syarif Hidayatullah. Entah bagaimana pola pikir para cendekiawan muslim di kampus itu?    
Tak berhenti sampai disitu, untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas, para aktifis liberal juga rajin mempublikasikan tulisannya di berbagai media, mulai dari media cetak seperti surat kabar, majalah, jurnal dan sebagainya hingga media elektronik seperti website, blog pribadi, dan juga akun-akun jejaring sosial seperti facebook dan twitter. Cobalah buka www.islamlib.com, di sana kita akan menemukan berbagai tulisan yang kental dengan nuansa liberal. Atau coba buka blog pribadi salah satu tokoh liberal, kita bisa menemukan tulisan nyeleneh seperti dukungan untuk pernikahan lintas agama bahkan pernikahan sejenis.
Sekitar tahun 2004 kelompok liberal menghentakkan umat Islam dihentakkan dengan mengajukan Counter Legal Draft (CLD) sebagai tandingan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sebuah draft yang menggugat hukum Islam yang selama ini diyakini dan diamalkan oleh umat Islam. Dalam CLD KHI tersebut mereka mengajukan beberapa gugatan antara lain seperti larangan poligami, dibolehkannya pernikahan beda agama, bagian waris antara laki-laki dan perempuan harus sama dan sebagainya.
CLD KHI ini kemudian dibela dengan dalil sekenanya oleh seorang aktifis liberal yang juga salah satu anggota tim perumusnya. Menurutnya, CLD KHI ini CLD KHI tetap bertumpu pada ayat universal al-Quran berupa keadilan, kemaslahatan, pluralisme, HAM, dan kesetaraan jender.[14]
Dan yang masih hangat saat ini adalah digodoknya RUU kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) pada pertengahan Maret 2012 di DPR. Pro dan kontra bermunculan. Padahal dalam RUU KKG tersebut banyak lagi kesalahpahaman dan kekeliruan para perumus RUU KKG yang bertentangan dengan konsep ajaran Islam.[15]  
Cara lain yang ditempuh adalah dengan menggandeng dunia entertainment. Mulai dari iklan “Islam warna-warni” hingga film layar lebar dengan judul ? (Tanda Tanya). Film tanda tanya itu mempromosikan pluralisme agama secara vulgar. Murtad dianggap tidak masalah yang penting tetap toleran, ikut merayakan paskah, bahkan berperan sebagai Yesus sah-sah saja, bekerja sebagai pelayan di restoran yang menjual makanan dari daging babi tetap dianggap mencari nafkah yang halal dan sebagainya. Semua itu adalah bukti keseriusan mereka untuk menjadikan umat Islam ini menjadi liberal. Dan jika kita semua hanya diam, maka kelompok liberal akan menjadi bola salju yang sulit untuk dibendung, sebab sebagaimana kata Syekh Muhammad al-Ghazali “Mereka bersemangat dalam kebathilan, sedangkan kita bermalas-malasan dalam kebenaran.[16] 
c.    Bersama Menghadapi Tantangan Pemikiran Kontemporer
            Idza ghaba al-qithu la’iba al-fa’ru (bila kucing tidak ada, maka tikus pesta pora), begitu pepatah Arab mengatakan. Pepatah ini mungkin cocok jika dianalogikan ke dalam ranah dakwah Islam. Jika umat Islam “mogok” berdakwah, tentu kelompok liberal dan sebagainya akan dengan leluasa menyebarkan gagasan dan pemikiran-pemikiran mereka yang keliru. Dengan jurus kata-kata indah yang menipu (zukhruf al-qauli ghurura) umat Islam banyak yang terhipnotis dengan pemikiran dan ide-ide mereka.
Patut digaris bawahi, meski dalam kebatilan namun kelompok liberal begitu gigih menyebarkan pemikirannya secara sistematis dan terorganisir dengan baik. Ini adalah tantangan besar yang harus dijawab oleh umat Islam dengan cara yang lebih baik dan tidak boleh gegabah. Sebab sebagaimana ungkapan Sayyidina Ali ra kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir (al-haq bilâ nizhâm sayaghlibuhu al-bâthil bi nizhâm).
Sebab itu, umat Islam harus mulai berpikir dan berbuat sesuatu secara bersama (amal jama’i) untuk menjawab tantangan dakwah saat ini. Ibarat petani, selain harus rajin menyirami tanaman dan memberi pupuk, ia pun harus rajin menjaganya dari hama yang akan merusak tanamannya. Begitu kewajiban umat Islam. Selain harus mengajak kepada kebaikan (amr ma’ruf),umat Islam juga tidak boleh lupa kewajiban nahi munkar. Sebab dengan kedua sikap itulah umat ini diberi gelar umat yang terbaik (khairu ummah). Untuk membendung dan menghentikan arus liberalisasi yang disebarkan saat ini setidaknya ada tiga langkah utama yang harus dilakukan umat Islam
Pertama, adalah melalui lembaga pendidikan. Caranya adalah dengan menyusun silabus dan kurikulum yang berbasis ta’dib. Sebab sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-Ghazali
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuatmu bertambah takut kepada Allah, membuat mata hatimu semakin tajam terhadap aib-aibmu, menambah ma’rifatmu dengan menyembah-Nya, mengurangi keinginanmu terhadap dunia, menambah keinginanmu terhadap akhirat, membuka mata hatimu tentang rusaknya segala amalmu sehingga engkau menjaga diri dari kerusakan itu, dan membuatmu teliti atas perangkap dan tipu daya setan[17]
Jadi, tujuan silabus dan kurikulumnya bukan lagi sekedar meraih ijazah yang akan dijadikan alat untuk meraih kesenangan dan keuntungan dunia semata. Lebih dari itu, silabus dan kurikulum yang disusun harus mengarahkan para penuntut ilmu menjadi orang-orang yang berakhlak mulia. Mulai dari akhlak kepada Allah, akhlak kepada Nabi Muhammad saw, akhlak kepada orang tua, kepada ulama, kepada sesama dan sebagainya. Singkatnya kurikulum berbasis ta’dib ini diharapkan akan melahirkan insan kamil yang beradab.
Kedua, melalui halaqah, majlis ilmu, masjid dan sebagainya. Caranya dengan menghidupkan tradisi ilmu secara intensif dan konsisten. Aktifitas menuntut ilmu harus diorientasikan kepada pengkajian turats dalam berbagai bidang, baik ilmu aqliyyah maupun ilmu naqliyyah. Namun pemahamannya disesuaikan dengan konteks kekinian. Setelah itu aktifitas menuntut ilmu semakin ditingkatkan bahkan diperluas dengan mengkaji peradaban Barat yang menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas Barat merupakan peradaban yang membawa tantangan terberat bagi umat manusia saat ini. Dan tentunya semua itu harus dengan pengkajian yang kritis dan menggunakan pandangan alam Islam (Islamic Worldview), sehingga umat Islam bisa bersikap adil terhadap pemikiran yang datang dari luar Islam dan menempatkan sesuai porsinya. Yang baik bisa kita ambil, yang tidak sesuai dengan Islam kita buang. Dari sini diharapkan lahir kader-kader Islam yang memiliki keluasan ilmu serta semangat dakwah yang tinggi dalam membela Islam.
Ketiga, melalui jalur politik. Caranya umat Islam yang diberi amanah sebagai wakil rakyat harus berjihad untuk menghasilkan Rancangan Undang-undang atau Undang-undang yang berpihak kepada umat Islam. Mereka juga harus berani menolak dengan lantang jika ada RUU atau UU yang bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai Islam. Sebab jika RUU ataupun UU yang bermasalah tersebut dibiarkan saja maka kelompok anti Islam akan semakin menjadi-jadi dalam menyebarkan berbagai ide dan pemikirannya dan akan berdalih semua itu ada payung hukumnya.  
Semua langkah itu tentunya harus didukung oleh semua kaum muslimin khususnya dukungan secara finansial. Sebab tanpa bantuan dari para dermawan muslim, sulit rasanya untuk membendung arus liberalisasi yang didukung dana melimpah dari berbagai yayasan dan lembaga dari Barat. Adalah sebuah ironi jika musuh Islam rela menghabiskan dana yang begitu besar untuk menghancurkan Islam, sementara umat Islam masih berpikir seribu kali untuk mengeluarkan sebagian kecil hartanya dalam mendukung dan mempertahankan eksistensi Islam.
D. Penutup   
Tantangan demi tantangan akan terus datang dan coba menghancurkan eksistensi Islam. Dan semakin hari, terlihat bahwa kelompok anti Islam begitu gigih menjalankan misinya dengan menggunakan berbagai cara. Tak ada cara lain untuk menghadang dan menjawab tantangan tersebut kecuali umat Islam harus bersatu dan berjuang bersama dalam medan dakwah sesuai kapasitasnya masing-masing dengan berpedoman ilmu yang benar sesuai petunjuk Allah swt dan Rasulullah saw.
Yakinlah! Selama kita menolong agama Allah, Allah pasti akan memberikan pertolongan-Nya dan mengokohkan kedudukan kita. In tanshurûllaâa, yanshurkum wa yutsabbit aqdâmakum. (QS Muhammad:7). Wallâhu a’lam bis shawâb.
Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Sekularisme, Terjemah: Dr. Khalif Muammar, M.A., dkk, (Bandung: PIMPIN, cet. 2011)

al-Ghazâli, Abû Hâmid Muhammad, Bidâyat al-Hidâyah, (Surabaya: Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-Arabiyyah, Tanpa Tahun)

al-Ghazâli Muhammad, Kebenaran yang Pahit, Kritik dan Otokritik Terhadap Dunia Islam, (Jakarta:Lentera, 2002),
Ghazali, Abdul Moqsith, Argumen Metodologis CLD KHI http://islamlib.com/id/artikel/argumen-metodologis-cld-khi/  

Husaini, Adian dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an, (Jakarta:Gema Insani Press, 2007)

Husaini, Adian, Hegemoni Kristen Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta:Gema Insani Press, 2006)


___________, Membendung Arus Liberalisme di Indonesia, Kumpulan Catatan Akhir Pekan DR Adian Husaini, (Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2009)

___________, Kesetaraan Gender Perspektif Islam dalam Jurnal Islamia Republika edisi Kamis 22 Maret 2012. 

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta:UI Press, cetakan 2009)

Salim, Fahmi, Kritik Terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif, 2010)

al-Sya’rani, Ahmad bin Ali al-Anshari, al-Mizan al-Kubra, (Mesir: Dar al-Fikr, tanpa tahun)

Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis (Jakarta:Perspektif, 2005).



[1] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Sekularisme, Terjemah: Dr. Khalif Muammar, M.A., dkk, (Bandung: PIMPIN, cet. 2011), hlm. 165
[2] Untuk memahami lebih dalam tentang pluralisme agama silakan merujuk buku karya Dr Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis (Jakarta:Perspektif, 2005). Buku ini merupakan disertasi penulisnya yang telah memberikan kontribusi besar dalam bidang studi agama dan dakwah Islam. Dalam buku ini penulisnya menarik sebuah kesimpulan bahwa teori-teori pluralisme agama tidak hanya sekedar teori yang terbuka, tapi lebih dari itu telah menjadi pandangan hidup (worldview) yang menggantikan agama, dan tidak hanya sebagai salah satu tema pandangan hidup (worldview-theme), karena telah juga memiliki karakteristik-karakteristik agama. Lihat hlm. 175.  Singkatnya, pluralisme agama adalah “agama baru” yang akan menghancurkan eksistensi agama-agama yang ada, termasuk Islam.
[3] Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an, (Jakarta:Gema Insani Press, 2007) hlm. 12-14
[4] Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif, 2010), hlm. 80. Buku ini adalah Tesis penulisnya ketika di Universitas al-azhar, Kairo. Tesis ini membahas tentang hermeneutika secara komprehensif . Selain mendapat predikat luar biasa (Mumtaz) tesis ini juga mendapat tambahan predikat berupa Rekomendasi untuk dicetak dan pertukaran antar universitas.  
[5] Paus Benedictus sendiri mengakui bahwa al-Qur’an memang berbeda dengan Bible. Daniel Pipes, seorang “ilmuwan garis keras” dalam memandang Islam, mengutip dari Pastor Joseph D Fessio bahwa Paus menyatakan “Bahwa dalam pandangan tradisional Islam, Tuhan telah menurunkan kata-kata-Nya kepada Muhammad, yang merupakan kata-kata abadi. Al-Qur’an sama sekali bukan kata-kata Muhammad. Karena itu bersifat abadi, sehingga tidak ada peluang untuk menyesuaikannya dengan kondisi dan situasi atau menafsirkannya kembali.” Dan menurut Paus, sifat al-Qur’an yang semacam itu memiliki perbedaan utama dengan konsep dalam Yahudi dan Kristen. Pada kedua agama ini, kata Paus, Tuhan bekerja melalui makhluk-Nya. Maka kata-kata dalam Bible, bukan hanya kata-kata Tuhan, tetapi juga kata-kata Isaiah, kata-kata Markus. Dalam istilah Paus “Tuhan menggunakan manusia dan memberikan inspirasi kepada mereka untuk mengungkapkan kata-kataa-Nya kepada manusia.” Lihat Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an, hlm. 10 
[6] Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an, hlm. 20-21
[7] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta:UI Press, cetakan 2009),  jilid I, hlm. 15
[8] Ibid, jilid I, hlm. 38-39
[9] Ibid, jilid I, hlm. 23,  jilid II hlm. 20-21
[10] Selengkapnya lihat Adian Husaini, Hegemoni Kristen Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta:Gema Insani Press, 2006), hlm. 275-278
[12] Selengkapnya baca Adian Husaini, Membendung Arus Liberalisme di Indonesia, Kumpulan Catatan Akhir Pekan DR Adian Husaini, (Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2009) hlm. 363-369
[13] Ahmad bin Ali al-Anshari al-Sya’rani, al-Mizan al-Kubra, (Mesir: Dar al-Fikr, tanpa tahun), hlm.60
[14] Abdul Moqsith Ghazali dalam Argumen Metodologis CLD KHI selengkapnya baca  http://islamlib.com/id/artikel/argumen-metodologis-cld-khi/  
[15] Selengkapnya baca Adian Husaini, Kesetaraan Gender Perspektif Islam dalam Jurnal Islamia Republika edisi Kamis 22 Maret 2012. 
[16] Muhammad al-Ghazali, Kebenaran yang Pahit, Kritik dan Otokritik Terhadap Dunia Islam, (Jakarta:Lentera, 2002), hlm. 18
[17]Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâli, Bidâyat al-Hidâyah, (Surabaya: Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-Arabiyyah, Tanpa Tahun), hlm. 32