Thursday, November 8, 2012

Dua Prinsip Meraih Kemuliaan dan Kebahagiaan



Dua Prinsip Meraih Kemuliaan dan Kebahagiaan
Oleh:
Muhammad Ardiansyah[1]
Kemuliaan dan kebahagiaan adalah tujuan hidup yang ingin dicapai setiap insan. Dan untuk mencapainya, berbagai jalan pun ditempuh. Ada yang menempuh jalan jabatan. Foto ukuran super besar dipajang di mana-mana, dilengkapi slogan-slogan indah dan obral janji. Dengan prinsip “pokoknya harus menang, pokoknya harus terpilih”. Lalu jadi orang terpandang, jadi orang mulia dan hidup bahagia.  
Ada juga orang yang menempuh jalan popularitas untuk meraih kemuliaan dan kebahagiaan. Ada yang ikut kontes kecantikan, ada yang mengobral anggota tubuhnya di depan jepretan kamera, bahkan ada yang rela menyerahkan kehormatannya kepada pihak-pihak tertentu. Tak peduli halal haram, tak peduli apa kata orang, yang penting terkenal, yang penting di elu-elukan, yang penting karir melesat, begitu mungkin pikir mereka. Ada lagi yang mencoba melakukan hal-hal gila untuk terkenal dan dicatat dalam rekor nasional dan internasional.
Jalan lain yang banyak ditempuh untuk meraih kemuliaan dan kebahagiaan adalah jalan harta. Siang malam yang ada di benak dan pikirannya hanya uang, uang dan uang. Kadang berangkat anak masih tidur, pulang pun anak sudah tidur lagi. Tak ada waktu sesaat bersama keluarga, bersama kerabat dan sahabat, termasuk tak ada waktu bersama Tuhan.
Pertanyaannya, apakah kemudian jalan-jalan ini menyampaikan seseorang kepada kemuliaan dan kebahagiaan? Ternyata, jalan-jalan tersebut belum bisa menyampaikan seseorang kepada kemuliaan dan kebahagiaan. Faktanya, banyak orang yang mencalonkan diri tapi tak terpilih. Ada yang terpilih, tapi tumbang di tengah jalan karena tersandung masalah. Yang popular dan terkenal pun tak selalu bahagia. Faktanya, banyak orang terkenal yang mengakhiri hidupnya secara tragis, mulai dari kehidupan pribadi yang selalu dalam incaran media, kecanduan narkotika sampai bunuh diri. Lalu yang banyak uang pun belum tentu mulia dan bahagia. Apalah artinya uang melimpah jika kehidupan rumah tangga berantakan, teman-teman tak lagi peduli bahkan komunikasi dengan Tuhan pun putus. Padahal yang dicari adalah rezeki dari Tuhan.
Lalu bagaimana jalan yang tepat untuk meraih kemuliaan dan kebahagiaan. Islam membentangkan jalan menuju kemuliaan dan kebahagiaan melalui jalan ketaqwaan. Dalam pandangan Islam, orang mulia bukan orang yang paling tinggi jabatannya, bukan orang yang paling terkenal dan bukan orang yang paling banyak hartanya. Orang mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa (QS al-Hujurat:13).
Taqwa merupakan wasiat Allah kepada semua umat manusia (QS al-Nisa:131). Taqwa adalah istilah yang tidak asing bagi umat Islam. Setiap Jum’at, khatib senantiasa mengingatkan agar kita selalu bertaqwa, dalam arti melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Jadi taqwa mempunyai dua rukun. Jika hanya satu, maka belum dikatakan taqwa. Orang yang rajin shalat, rajin sedekah dan toleran belum dikatakan orang bertaqwa jika ia masih sika berjudi, minum khamr, berzina dan sebagainya. Demikian juga orang yang tidak pernah berjudi, tidak pernah berzina juga belum disebut orang bertaqwa jika tidak pernah shalat, tidak pernah puasa Ramadhan dan sebagainya. Jadi taqwa tidak boleh mencampur adukkan antara yang haq dan yang bathil. Sebab itu, sungguh menggelikan jika ada seorang yang masih mengaku muslimah, berjilbab dan bergelar Profesor Doktor dari Universitas Islam, lalu dengan penuh keyakinan mengatakan bahwa seorang lesbi pun tetap berpotensi menjadi orang yang bertaqwa.
Ibarat mobil, tentunya harus dilengkapi dengan gas dan rem. Ketika lampu hijau, maka gas yang harus diinjak, bahkan bisa ditambah kecepatannya jika keadaannya memungkinkan. Namun ketika lampu kuning, maka rem harus sudah diinjak, dan harus diinjak lebih keras ketika lampu merah sudah menyala. Jika ketika lampu hijau malah berhenti, dan ketika lampu merah malah berjalan, maka yang timbul adalah kekacauan bahkan kecelakaan.
Begitulah gambaran taqwa. Ketika ada perintah, maka kita siap melaksanakannya. Dan ketika ada larangan, kita pun harus siapa menjauhinya. Atau dengan kata lain, taqwa itu maju mundur. Maju ketika ada perintah Allah swt, dan mundur ketika ada larangan-Nya. Bukan sebaliknya. Mundur ketika ada perintah, dan maju ketika ada larangan. Dan pelaksanaan taqwa itu harus diiringi dua langkah prinsip utama yaitu kami dengar (sami’nâ) dan kami taati (‘Atha’nâ).
Seberat apapun perintah Allah swt kepada kita, maka sesuai kedua prinsip tadi kita harus melaksanakannya sesuai kemampuan. Ketika sedang enak tidur, lalu lantunan adzan subuh memanggil kita untuk berkomunikasi dengan Allah melalui shalat, maka kita harus melawan rasa kantuk itu dan segera bergegas melaksanakan shalat subuh. Di saat kita memiliki banyak harta yang sudah mencapai nishab-nya, maka kita harus segera mengeluarkannya dan membagikannya kepada mereka yang berhak menerimanya. Bukan malah terus menahan harta itu di genggaman kita. Begitu juga sikap kita terhadap perintah Allah swt yang lain.
Sebaliknya, sebesar apapun keuntungan judi, senikmat apapun minum khamr dan perbuatan zina menurut pandangan sebagian orang, namun ketika Allah swt melarangnya, kita pun harus segera menjauhi dan meninggalkannya secara total. Ingatlah, Allah tidak akan memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya melainkan ada hikmah di balik perintah itu. Dan Allah juga tak pernah melarang sesuatu kepada hamba-Nya melainkan ada bahaya yang timbul di balik larangan itu.
Inilah jalan menuju kemuliaan dan kebahagian yang patut kita tempuh. Peganglah prinsip kami dengar (sami’nâ) dan kami taati (atha’nâ), lalu laksanakanlah segala perintah Allah swt dan jauhilah segala larangan-Nya, niscaya kita akan menjadi orang mulia di sisi-Nya dan akan meraih kebahagiaan yang hakiki serta abadi, di dunia maupu di akhirat.
walLâhu a’lam bis shawâb.
Jakarta, 9 November 2012        


[1] Penulis Buku 10 Logika Liberal dan Jawabannya. Saat ini sedang menempuh Studi Doktor Pendidikan Islam di Program Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun, Bogor.