Diam Tak Selalu Bernilai Emas, Muslim Harus Bicara dan Berbuat
Oleh:
Muhammad Ardianyah
Diam itu emas. Begitu kata papatah. Namun, papatah itu tentu tidak bisa
berlaku secara umum. Dalam konteks tertentu sebagai muslim memang kita harus
diam. Sebab Nabi Muhammad saw berpesan “barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(Muttafaq alaih).
Dusta, ghîbah, namîmah, dan sebagainya adalah contoh
ucapan yang wajib ditinggalkan. Tak ada guna sama sekali. Semakin banyak
dilakukan hanya akan memperbanyak dosa dan keburukan kita. Pada saat itu,
ucapan kita menjadi tidak bernilai, justru akan menjadi bumerang yang akan
membinasakan. Diam ketika itulah yang bernilai emas.
Namun dalam konteks lain, umat Islam tidak boleh diam. Misalnya, ketika
ada tawaran untuk ibadah bersama dengan umat lain dengan dalih toleransi, kita
harus berani mengatakan TIDAK!. Sebab Nabi Muhammad pernah diperintahkan untuk
menolak ajakan semacam itu. “Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, aku
tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang
aku sembah. dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan
kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku." (QS al-Kâfirûn:1-6). Yang kita
sembah hanyalah Allah swt, bukan Yesus, bukan Yahweh, bukan Budha dan
sebagainya.
Jika saat ini ada seorang yang mengaku Nabi juga tidak boleh dibiarkan.
Sebab di dalam al-Qur’an Allah swt telah menegaskan bahwa Nabi Muhammad saw
adalah Nabi pamungkas. Tidak ada lagi Nabi sesudahnya. “Muhammad itu
sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu tetapi Dia
adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.”(QS al-Ahzab:40). Khalifah pertama, Abu Bakar al-Shiddiq ra
yang terkenal dengan sifat lembutnya pun tak tinggal diam ketika Musailamah
al-Kadzzab memproklamirkan dirinya sebagai seorang Nabi dan mengobral ayat-ayat
palsu. Secara tegas ia tolak pengakuan Musailamah si pendusta besar itu dan
mengirim pasukan untuk memeranginya.
Atau ketika ada upaya untuk merusak hukum Islam melalui undang-undang
di pemerintahan, maka umat Islam juga harus angkat bicara. Sebab menurut Nabi
Muhammad saw “jihad yang paling utama adalah berani mengatakan kebenaran di
hadapan pemimpin yang zhalim” (HR al-Nasâi dan Ahmad). Jika semua umat
Islam bungkam, maka akan muncul undang-undang yang menghalalkan pernikahan beda
agama, pernikahan sejenis, legalisasi pornografi dan pornoaksi dan sebagainya.
Ketika ada artis luar yang mencoba merusak generasi Islam dengan lirik
lagunya yang menghujat Tuhan dan gaya pakaiannya yang seronok, maka umat Islam
juga harus menolak secara keras. Sebab itu adalah sebuah kemunkaran yang nyata.
Hal itu bak virus yang akan merusak generasi muslim sedikit demi sedikit dan
lama-kelamaan akan mematikan. Oleh karena itu Nabi Muhammad saw memerintahkan
umat Islam untuk merubah kemunkaran dengan tangannya, atau lisannya atau
hatinya. (HR Muslim).
Belakangan ini kita mendengar nasib saudara kita di belahan bumi
lainnya, Rohingya, Myanmar, yang mendapat perlakuan tidak manusiawi dari umat
lain. Menyikapi hal itu, tentu saja kita tidak boleh tinggal diam. Sebab Allah swt
menegaskan “sesungguhnya orang mu’min itu bersaudara” (QS al-Hujurat:10).
Dan Nabi Muhammad saw memperkuat dalam sabdanya bahwa “orang mu’min itu
laksana satu badan jika satu anggota merasa sakit, maka anggota tubuh lainnya
ikut merasakannya” (Muttafaq alaih). Itulah persaudaraan yang indah dalam
Islam dan tak ada di agama lainnya. Sejauh apapun jarak memisahkan, umat Islam
tetap bersaudara. Satu merasa sakit, yang lain pun ikut merasakan hal yang
sama. Persaudaraan Islam tidak dibatasi oleh posisi geografis.
Adalah sebuah kebodohan jika kemudian ada yang menyatakan bahwa umat
Islam Indonesia tidak perlu repot-repot ngurusi nasib Muslim Rohingya yang
dibantai habis-habisan. Sebab masalah di negeri sendiri pun masih banyak. Lebih
bodoh lagi jika ada yang menyamakan kasus di Rohingya misalnya dengan kasus
Ahmadiyah di Indonesia. Padahal keduanya jelas berbeda. Kasus Ahmadiyah adalah
kasus pelecehan dan penistaan agama. Sebagai umat yang masih meyakini kebenaran
agamanya tentu akan tersinggung ketika agamanya dilecehkan. Apalagi hal itu
sudah diatur dalam undang-undang yang berlaku di negeri ini. Andai saja Ahmadiyah
mematuhi undang-undang yang berlaku di negeri ini dan mengindahkan ajakan umat
Islam secara persuasif, tentu tidak akan ada aksi penyerbuan. Sementara kasus
yang menimpa Muslim Rohingya tidak memiliki dasar sama sekali. Pembunuhan,
pembakaran rumah dan sebagainya jelas tindakan biadab yang tidak bisa
dibenarkan.
Dimana mereka yang mengaku pejuang HAM?. Ke mana tokoh HAM yang
mendapat penghargaan nobel perdamaian? Mengapa tidak terdengar suara mereka? Apakah
mereka buta?apakah mereka tuli? Lalu mengapa tiba-tiba mereka mendadak bisu? Bukankah
ini suatu ketidak adilan dan sikap inkonsistensi para pengusung HAM?
Umat Islam tidak boleh diam dan membisu. Umat Islam harus bersatu dan
berbicara dengan lantang agar dunia memberi perhatian khusus serta lebih serius
menyikapi kasus yang menimpa Muslim di Rohingya. Pembantaian di Rohingya harus
dihentikan. Umat Islam juga harus berbuat sesuatu untuk meringankan penderitaan
mereka sebagai bukti persaudaraan kita sesuai dengan kemampuan masing-masing. Bisa
dengan harta, tenaga maupun doa yang ikhlas kepada Allah swt. Semoga Allah swt senantiasa
melindungi umat Islam di manapun mereka berada. Amiin ya Rabbal alamin.
No comments:
Post a Comment