Dakwah Islam dan Tantangan Pemikiran Kontemporer
Oleh:
Muhammad Ardiansyah
I.
Pendahuluan
“Telah banyak tantangan yang muncul di tengah-tengah kekeliruan
manusia sepanjang sejarah, tetapi barangkali tidak ada yang lebih serius dan
lebih merusak terhadap manusia daripada tantangan yang dibawa oleh peradaban
Barat hari ini”.[1]
Begitu pernyataan Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai peringatan
bagi umat Islam. Tampaknya, apa yang dinyatakan oleh SMN al-Attas bukan lagi
isapan jempol. Peradaban Barat kini menjelma dalam berbagai dimensi kehidupan
umat Islam itu sendiri dalam bentuk empat F. Pertama Food (makanan).
Saat ini para pemuda muslim lebih gandrung dengan hamburger, pizza, spageti dan
sebagainya dibandingkan tahu, tempe, gado-gado yang menjadi makanan khas negeri
sendiri. Padahal di negeri asalnya makanan-makanan siap saji tersebut sudah
dianggap makanan sampah (junk food). Namun di sini ternyata menjadi
makanan favorit yang cukup bergengsi.
Kedua Fun (hiburan). Lihatlah betapa umat Islam setiap hari
dijejali berbagai hiburan ala Barat yang tidak mendidik. Jika di Barat ada Miss
Universe, maka di negeri ini di-kloning menjadi Miss Indonesia. Jika di
Barat ada American Idol, di sini pun tak ingin ketinggalan lalu membuat
Indonesia Idol. Bahkan film-film tentang anak sekolah pun tak lagi mendidik sebab
isinya hanya cerita tentang pacaran, dan pergaulan bebas ala Barat.
Ketiga, Fashion (Pakaian). Ironi, negeri dengan mayoritas
penduduknya beragama Islam namun banyak umatnya yang lebih memilih berpenampilan
ala Barat. Mulai dari pakaian yang memamerkan aurat hingga berpenampilan
aneh-aneh dengan tato, gaya rambut yang macam-macam sampai tindikan anting di
hidung, lidah dan sebagainya.
Keempat
atau yang terakhir adalah Faith (keyakinan). Boleh dikatakan tantangan
yang keempat ini adalah tantangan terbesar dakwah Islam saat ini. Betapa tidak!
Tak sedikit kaum muslimin yang dibuat seolah terhipnotis dengan konsep dan
metodologi Barat dalam masalah keyakinan dan beragama. Inilah tantangan yang
sangat serius bagi umat Islam yang harus diwaspadai, karena dari tantangan
pemikiran seperti ini akan berdampak pada kerusakan aqidah dan akhlak serta
pemahaman umat Islam dalam memahami ajaran Islam.
Seperti
apa sebenarnya tantangan pemikiran yang disebarkan oleh Barat? Bagaimana mereka
menyebarkan paham dan konsep pemikirannya? Serta bagaimana seharusnya sikap
kaum muslimin menghadapai tantangan pemikiran yang begitu masif disebarkan oleh
Barat dan para pengagumnya? Makalah ini akan mencoba membahasnya secara
singkat.
II.
Tantangan Pemikiran Kontemporer
a.
Dari
Pengkaburan Aqidah sampai Penggusuran Konsep Ilmu
Mencermati berbagai perkembangan pemikiran liberal di kalangan umat
Islam, secara umum dapat dikatakan setidaknya ada tiga aspek penting yang
sedang gencar diliberalkan. Pertama, pengkaburan aqidah dengan diusungnya paham
pluralisme agama. Kedua, penghancuran syariat dengan perubahan metodologi
ijtihad. Dan ketiga,penggusuran konsep ilmu dengan mempromosikan hermeneutika
sebagai pengganti ilmu tafsir al-Qur’an.
Pluralisme agama[2]
adalah paham yang didasarkan pada asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang yang
sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Bahkan siapapun nama Tuhannya bukan
masalah. Apakah namanya Allah, Yahweh, Yesus itu bukan masalah. Mungkin para
pemikir liberal ini setuju dengan William Shakesphare yang berpendapat apalah
artinya sebuah nama?
Paham pluralisme ini jelas sangat berbahaya. Sebab jika paham ini
diterima oleh umat Islam, maka sama dengan menghancurkan Islam itu sendiri.
Berbagai istilah kunci akan hilang. Tidak ada lagi orang yang disebut kufur,
musyrik, murtad dan sebagainya. Sebab menurut penganut paham
pluralisme ini, inti ajaran agama adalah mengajarkan sikap pasrah, kebaikan dan
kasih sayang. Jadi apapun agamanya, asalkan mengajarkan semua sikap tersebut
dapat dikatakan sebagai Islam dan akan mendapat ridha Tuhan.
Selanjutnya syariat Islam juga coba “didobrak” dengan merubah
metodologi ijtihad. Berbagai hukum Islam dibongkar dan diubah dan dipaksa
tunduk kepada zaman. Seperti hukum pernikahan beda agama, hukum perzinahan,
hukum pernikahan sejenis, hukum murtad dan sebagainya. Bagi kelompok liberal,
agama adalah bagian dari proses dinamika sejarah. Sehingga semua agama termasuk
Islam harus selalu berevolusi mengikuti perkembangan zaman.
Padahal, Islam bukan agama sejarah. Islam adalah agama wahyu. Islam
adalah agama yang sudah sempurna sejak lahir. Bukan seperti agama lain yang
merupakan produk sejarah. Jadi konsep aqidah, konsep syariat Islam itu bersifat
final dan tidak berkembang mengikuti proses dinamika sejarah. Haramnya
menyekutukan Allah swt, haramya berzina, haramnya babi, wajibnya shalat lima
waktu, wajibnya zakat dan sebagainya berlaku final sejak awal hingga akhir
zaman. Jadi tidak tunduk dan tidak usang dimakan waktu.
Terakhir adalah menggusur konsep ilmu dalam Islam –dalam hal ini
ilmu tafsir al-Qur’an- dengan mempromosikan hermeneutika sebagai penggantinya,
sebuah metode yang biasa digunakan untuk kritik Bibel. Penting untuk diketahui,
terhadap hermeneutika, meski Vatikan secara umum bisa menerimanya sebagai
interpretasi Bibel, namun demikian Vatikan juga menolak teori tertentu yang
dianggap tidak memadai untuk menafsirkan Kitab Suci. Jadi meskipun menerima
metode hermeneutika filsafat dalam penafsiran Bibel, Vatikan tetap bersikap
selektif dan tidak membiarkan penafsiran liar yang dengan seenaknya memasukan
makna yang bertentangan dengan ideologi Katolik.[3]
Lalu mengapa hermeneutika bisa diterima untuk penafsiran Bible di
dunia Kristen Barat? Hal itu karena ada beberapa sebab dan problem akut yang
dihadapi oleh mereka. Pertama, tidak adanya keyakinan dan kebenaran teks-teks
Bibel menurut pakar Barat, sebab tidak ada bukti-bukti materiil yang meyakinkan
dari teks-teks Bibel awal. Kedua, tidak ada ketetapan-ketetapan dari
penafsiran-penafsiran yang dapat diterima menurut umum, termasuk di dalamnya
tidak ada tradisi seperti ijma’ dan mutawatir sebagaimana kondisi umat Islam. Ketiga,
tidak ada sekumpulan manusia yang hapal teks-teks yang hilang dan dilupakan
selama perjalanan sejarah[4]
Bagaimana dengan al-Qur’an? Ketiga masalah yang dihadapi Bibel
tidak ditemukan dalam tradisi peradaban Islam dan masalah keotentikan teks
al-Qur’an secara khusus. Sebab al-Qur’an memang sangat berbeda dengan Bible.
Al-Qur’an lafazh dan maknanya dari Allah banyak yang hapal dan diriwayakan
secara mutawatir dan keasliannya disepakati oleh umat Islam sepanjang
zaman. Adapun Bibel adalah produk sejarah yang di kalangan Kristen sendiri
keaslian teksnya masih diperdebatkan dan juga tidak final karena terus berubah
dari waktu ke waktu.[5]
Namun kelompok liberal kini menyamakan al-Qur’an dengan Bible dan kitab
agama lain. Mereka menganggap bahwa al-Qur’an juga produk budaya (muntâj
tsaqafi), atau teks manusia (nashun insâniyyun) atau teks sejarah (nashun
târikhiyyun), akibatnya kesakralan al-Qur’an tidak lagi diperdulikan.
Dengan memandang al-Qur’an sebagai produk budaya, maka muncul orang-orang yang
berani melecehkan al-Qur’an. Masih teringat tragedi di salah satu perguruan
tinggi Islam di Surabaya. Seorang dosen studi Islam menyatakan “Sebagai budaya,
posisi al-Qur’an tidak berbeda dengan rumput.” Ia pun kemudian melakukan aksi
“akrobat” dengan menulis lafazh Allah di secarik kertas lalu menginjaknya
dengan sepatu sambil berkata “Al-Qur’an dipandang sakral secara substansi, tapi
tulisannya tidak sakral.”
Selain itu, aplikasi metode hermeneutika untuk al-Qur’an ini akan
bermuara pada relativisme tafsir yang dampaknya sangat berbahaya, karena bisa
menghilangkan keyakinan akan kebenaran dan finalitas Islam, menghancurkan
bangunan ilmu pengetahuan yang lahir dari al-Qur’an dan Sunnah dan juga
menempatkan Islam sebagai agama sejarah yang selalu berubah mengikuti zaman.
Singkatnya, penggunaan hermeneutika sebagai metode tafsir al-Qur’an akan
berpotensi besar membubarkan ajaran-ajaran Islam yang sudah final. Dan itu sama
dengan membubarkan Islam itu sendiri.[6]
Dengan hermeneutika hukum Islam menjadi tidak ada yang pasti, semua
serba relatif. Tidak ada yang qath’i, semua zhanni sehingga
penafsiran tentang batas aurat, hukum pernikahan beda agama dan sebagainya
perlu dikaji ulang. Tafsir yang selama ini diajarkan para ulama dianggap
“kadaluarsa” dan harus segera diganti dengan yang baru yaitu hermeneutika.
Saat ini, kajian hermeneutika sudah masuk dalam salah satu mata
kuliah studi Islam di sejumlah perguruan tinggi Islam menggantikan ilmu tafsir.
Mereka latah dan menganggap semua yang baru pasti lebih bagus. Persis seperti
istri Aladin yang menukar lampu lama dengan lampu baru yang di jajakan oleh
tukang sihir. Ini adalah bencana besar dan akan berujung pada dekonstruksi dan
desakralisasi teks al-Qur’an. Berbagai saran, kritik dan juga nasehat sudah
disampaikan oleh sejumlah tokoh dan ulama. Namun hal itu tidak “digubris” oleh
para dosen dan para akademisi di kampus-kampus tersebut. Semua hanya masuk
kuping kiri dan keluar kuping kanan, mereka tetap bertahan dan terus berjalan
dengan programnya.
b.
Dari Lembaga Pendidikan sampai Tempat Hiburan
Boleh dikatakan arus liberalisasi Islam di negeri ini benar-benar
serius dan begitu dahsyat. Meski dalam kebatilan, para pengusung ide
liberalisme ini seperti tak pernah letih dan selalu mencari berbagai cara untuk
meyakinkan bahwa liberalisme itu adalah suatu keniscayaan dan syarat mutlak
untuk mencapai kemajuan. Mari kita lihat satu demi satu. Dimulai dari lembaga
pendidikan tinggi Islam. Sekitar tahun 1970-an, seorang rektor perguruan tinggi
Islam menulis buku yang berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya
(IDBA). Buku ini kemudian dijadikan buku pegangan wajib di berbagai perguruan
tinggi Islam pada saat itu. Padahal dalam buku itu terdapat banyak kekeliruan
mendasar antara lain disebutkan bahwa agama Yahudi sebagai agama yang
memelihara kemurnian Tauhîd.[7]
Dalam buku itu, penulisnya juga menyudutkan paham Asy’ariyah dan memuji-muji
paham Mu’tazilah.[8]
Kekeliruan lainnya juga dapat ditemukan dalam pembahasan seputar masalah hadits.
Antara lain seputar kodifikasi hadits, kehujjahan Sunnah tidak sama dengan
kehujjahan al-Qur’an, hanya hadits mutawatir yang bisa dijadikan hujjah,
sedangkan kehujjahan hadits Ahad masih diperselisihkan dan sebagainya [9]
Selanjutnya di sebuah perguruan tinggi Islam juga mulai dimasukkan
mata kuliah Kajian Orientalisme Terhadap al-Qur’an dan Hadits yang tujuannya
adalah agar mahasiswa dapat menjelaskan dan menerapkan kajian orientalis
terhadap al-Qur’an dan Hadits. Referensi yang digunakan adalah buku-buku
seperti Rethinking Islam kayra Mohammed Arkoun, Studies in Early
Muslim Jurisprudence karya Norman Calder dan sebagainya. Satu lagi mata
kuliah Hermeneutika dan Semiotika yang bertujuan agar mahasiswa dapat
menjelaskan dan menerapkan ilmu hermeneutika dan semiotika terhadap kajian
al-Qur’an dan hadits. referensi yang digunakan adalah buku-buku seperti Contemporery
Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique karya Josef
Bleicher, Semiotics and Philisophy of Language karya Eco Umberto dan
sebagainya.[10]
Lalu rektor IAIN Syarif Hidayatullah (1998-2005) yang juga dianggap
cendekiawan muslim secara tegas menyatakan “Sebagai lembaga akademik,
kendati IAIN terbatas memberikan pendidikan Islam kepada mahasiswanya, tetapi
Islam yang diajarkan adalah Islam yang liberal. IAIN tidak mengajarkan
fanatisme mazhab atau tokoh Islam, melainkan mengkaji semua mazhab dan tokoh
Islam tersebut dengan kerangka, perspektif dan metodologi modern. Untuk
menunjang itu, mahasiswa IAIN pun diajak mengkaji agama-agama lain selain Islam
secara fair, terbuka, dan tanpa prasangka. Ilmu perbandingan agama menjadi mata
kuliah pokok mahasiswa IAIN.” [11]
Arus liberalisasi di perguruan tinggi tadi akhirnya mengakibatkan berbagai
tragedi keilmuan yang tidak bisa dielakkan. Salah satu yang sangat
memprihatinkan adalah diluluskannya sebuah disertasi yang berjudul Persperktif
al-Qur’an tentang Pluralitas Umat Beragama di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang
kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Argumen Pluralisme
Agama. Oleh pembimbingnya dan sebagian besar pengujinya, disertasi
ini mendapat banyak pujian dan dianggap telah melakukan sebuah terobosan,
bahkan dikatakan bahwa disertasi tersebut telah mengungkap banyak informasi
baru dalam literatur berbahasa Indonesia seputar tema relasi antar agama.
Padahal menurut salah satu pengujinya Prof Dr. Salman Harun,
penulis disertasi tersebut salah memahami penggalan buku Syekh Nawawi
al-Bantani tentang bisa atau tidaknya non-Muslim masuk surga. Selain itu,
penulisnya juga dinilai tidak utuh mengutip Ibn Katsir. Sebab baik Ibn Katsir
atau Syekh Nawawi al-Bantani berkesimpulan bahwa hanya Muslim yang masuk surga.
Sementara penulis disertasi itu membuat kesimpulan berbeda yaitu non-Muslim juga
bisa masuk surga. Selain itu, sebenarnya masih banyak data metodologi dan
analisa yang perlu dipertanyakan dalam disertasi tersebut.[12]
Namun anehnya, para Profesor pembimbing dan penguji disertasi itu bisa
sampai melewatkan kekeliruan yang sangat mendasar tersebut. Ini jelas merupakan
suatu musibah besar, sebab apa yang bathil dan keliru justru dilegitimasi oleh
sejumlah guru besar bidang agama. Dan yang lebih menyedihkan para doktor dan
pakar-pakar al-Qur’an yang berjubel di UIN pun hanya membisu menghadapi tragedi
ini. Tak ada yang coba menjawabnya dengan karya yang lebih baik dan sesuai
dengan metodologi keilmuan yang benar. benarlah apa yang dikatakan Imam Syafi’i
“Jika tak ada ulama yang menyebarkan ilmunya dengan tintanya, maka orang-orang
zindiq akan menari di atas mimbar” (lau lâ Ahl al-Mahâbir lanathaqat
al-zanâdiqatu ‘ala al-manâbir)[13]
Umat Islam wajib tahu dan harus memahami bahwa arus liberalisasi di
perguruan tinggi ini memiliki peran besar. Sebab dari sanalah para guru agama
Islam yang mengajar di sekolah-sekolah menimba ilmu. Jika ilmu yang diterima
sudah keliru, maka yang diajarkan kepada murid-muridnya di sekolahpun akan
keliru. Akibatnya murid-murid itu “dijejali” materi studi Islam tapi
menggunakan pisau analisis Barat. Ujung-ujungnya, mereka bukan tambah yakin
terhadap Islam, tapi bertambah ragu, bukan bertambah rajin ibadah, justru akan
meremehkan ibadah dan bukan bertambah berakhlak, tapi akan bertambah
biadab.
Penyebaran ide liberal juga dilakukan melalui tulisan. Saat ini, buku-buku
tulisan kelompok liberal dapat ditemukan di sejumlah toko buku ternama di
berbagai daerah dan bisa menjadi konsumsi umum. Dalam beberapa hari terakhir,
penulis mengunjungi beberapa toko buku ternama yang ada di Jakarta. Dan benar
saja, toko-toko buku tersebut dibanjiri dengan buku-buku “berbau” liberal
dengan judul-judul seperti Islam dan Liberalisme, Argumen Kesetaraan Jender,
Berislam Secara Toleran:Teologi Kerukunan Umat Beragama dan sebagainya.
Selanjutnya, buku-buku tersebut biasanya dibedah dalam suatu forum diskusi di
kampus-kampus dan sebagainya dengan menghadirkan sejumlah pemikir liberal.
Dan belakangan ini, yang menarik perhatian umat Islam adalah buku Allah,
Liberty and Love tulisan Irshad Manji, seorang lesbian asal Kanada.
Kelompok liberal ini mengundang langsung sang penulis dan memfasilitasi launching
buku tersebut. Padahal buku Irshad Manji sebelumnya yang diberi judul ”Beriman
Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini” isinya penuh penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw. Diskusi buku Allah Liberty and Love di teater Salihara memang sempat dibubarkan, Rektor
Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta juga menolak diadakan diskusi di
kampusnya. Namun anehnya, buku Allah, Liberty and Love itu malah didiskusikan di Universitas Islam Negeri (UIN),
Syarif Hidayatullah. Entah bagaimana pola pikir para cendekiawan muslim di
kampus itu?
Tak berhenti sampai disitu, untuk menjangkau masyarakat yang lebih
luas, para aktifis liberal juga rajin mempublikasikan tulisannya di berbagai media,
mulai dari media cetak seperti surat kabar, majalah, jurnal dan sebagainya
hingga media elektronik seperti website, blog pribadi, dan juga akun-akun
jejaring sosial seperti facebook dan twitter. Cobalah buka www.islamlib.com, di sana kita akan menemukan berbagai tulisan yang kental dengan
nuansa liberal. Atau coba buka blog pribadi salah satu tokoh liberal, kita bisa
menemukan tulisan nyeleneh seperti dukungan untuk pernikahan lintas agama
bahkan pernikahan sejenis.
Sekitar tahun 2004 kelompok liberal menghentakkan umat Islam
dihentakkan dengan mengajukan Counter Legal Draft (CLD) sebagai tandingan
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sebuah draft yang menggugat hukum Islam yang
selama ini diyakini dan diamalkan oleh umat Islam. Dalam CLD KHI tersebut mereka
mengajukan beberapa gugatan antara lain seperti larangan poligami,
dibolehkannya pernikahan beda agama, bagian waris antara laki-laki dan
perempuan harus sama dan sebagainya.
CLD
KHI ini kemudian dibela dengan dalil sekenanya oleh seorang aktifis liberal
yang juga salah satu anggota tim perumusnya. Menurutnya, CLD KHI ini CLD KHI
tetap bertumpu pada ayat universal al-Quran berupa keadilan, kemaslahatan,
pluralisme, HAM, dan kesetaraan jender.[14]
Dan
yang masih hangat saat ini adalah digodoknya RUU kesetaraan dan Keadilan Gender
(RUU KKG) pada pertengahan Maret 2012 di DPR. Pro dan kontra bermunculan. Padahal
dalam RUU KKG tersebut banyak lagi kesalahpahaman dan kekeliruan para perumus
RUU KKG yang bertentangan dengan konsep ajaran Islam.[15]
Cara lain yang ditempuh adalah dengan menggandeng dunia entertainment.
Mulai dari iklan “Islam warna-warni” hingga film layar lebar dengan judul ?
(Tanda Tanya). Film tanda tanya itu mempromosikan pluralisme agama secara
vulgar. Murtad dianggap tidak masalah yang penting tetap toleran, ikut
merayakan paskah, bahkan berperan sebagai Yesus sah-sah saja, bekerja sebagai
pelayan di restoran yang menjual makanan dari daging babi tetap dianggap
mencari nafkah yang halal dan sebagainya. Semua itu adalah bukti keseriusan
mereka untuk menjadikan umat Islam ini menjadi liberal. Dan jika kita semua
hanya diam, maka kelompok liberal akan menjadi bola salju yang sulit untuk
dibendung, sebab sebagaimana kata Syekh Muhammad al-Ghazali “Mereka bersemangat
dalam kebathilan, sedangkan kita bermalas-malasan dalam kebenaran.[16]
c.
Bersama Menghadapi Tantangan Pemikiran Kontemporer
Idza ghaba
al-qithu la’iba al-fa’ru (bila kucing tidak ada, maka tikus pesta pora),
begitu pepatah Arab mengatakan. Pepatah ini mungkin cocok jika dianalogikan ke
dalam ranah dakwah Islam. Jika umat Islam “mogok” berdakwah, tentu kelompok
liberal dan sebagainya akan dengan leluasa menyebarkan gagasan dan
pemikiran-pemikiran mereka yang keliru. Dengan jurus kata-kata indah yang
menipu (zukhruf al-qauli ghurura) umat Islam banyak yang terhipnotis
dengan pemikiran dan ide-ide mereka.
Patut digaris bawahi, meski dalam
kebatilan namun kelompok liberal begitu gigih menyebarkan pemikirannya secara
sistematis dan terorganisir dengan baik. Ini adalah tantangan besar yang harus dijawab
oleh umat Islam dengan cara yang lebih baik dan tidak boleh gegabah. Sebab sebagaimana
ungkapan Sayyidina Ali ra kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan
oleh kebatilan yang terorganisir (al-haq bilâ nizhâm sayaghlibuhu al-bâthil
bi nizhâm).
Sebab itu, umat Islam harus mulai
berpikir dan berbuat sesuatu secara bersama (amal jama’i) untuk menjawab
tantangan dakwah saat ini. Ibarat petani, selain harus rajin menyirami tanaman
dan memberi pupuk, ia pun harus rajin menjaganya dari hama yang akan merusak
tanamannya. Begitu kewajiban umat Islam. Selain harus mengajak kepada kebaikan
(amr ma’ruf),umat Islam juga tidak boleh lupa kewajiban nahi munkar.
Sebab dengan kedua sikap itulah umat ini diberi gelar umat yang terbaik (khairu
ummah). Untuk membendung dan menghentikan arus liberalisasi yang disebarkan
saat ini setidaknya ada tiga langkah utama yang harus dilakukan umat Islam
Pertama, adalah melalui lembaga
pendidikan. Caranya adalah dengan menyusun silabus dan kurikulum yang berbasis ta’dib.
Sebab sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-Ghazali
Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membuatmu
bertambah takut kepada Allah, membuat mata hatimu semakin tajam terhadap
aib-aibmu, menambah ma’rifatmu dengan menyembah-Nya, mengurangi keinginanmu
terhadap dunia, menambah keinginanmu terhadap akhirat, membuka mata hatimu
tentang rusaknya segala amalmu sehingga engkau menjaga diri dari kerusakan itu,
dan membuatmu teliti atas perangkap dan tipu daya setan[17]
Jadi, tujuan silabus dan
kurikulumnya bukan lagi sekedar meraih ijazah yang akan dijadikan alat untuk
meraih kesenangan dan keuntungan dunia semata. Lebih dari itu, silabus dan
kurikulum yang disusun harus mengarahkan para penuntut ilmu menjadi orang-orang
yang berakhlak mulia. Mulai dari akhlak kepada Allah, akhlak kepada Nabi
Muhammad saw, akhlak kepada orang tua, kepada ulama, kepada sesama dan
sebagainya. Singkatnya kurikulum berbasis ta’dib ini diharapkan akan melahirkan
insan kamil yang beradab.
Kedua, melalui halaqah, majlis ilmu,
masjid dan sebagainya. Caranya dengan menghidupkan tradisi ilmu secara intensif
dan konsisten. Aktifitas menuntut ilmu harus
diorientasikan kepada pengkajian turats dalam berbagai bidang, baik ilmu
aqliyyah maupun ilmu naqliyyah. Namun pemahamannya disesuaikan dengan
konteks kekinian. Setelah itu aktifitas menuntut ilmu semakin ditingkatkan
bahkan diperluas dengan mengkaji peradaban Barat yang menurut Syed Muhammad
Naquib al-Attas Barat merupakan peradaban yang membawa tantangan terberat bagi
umat manusia saat ini. Dan tentunya semua itu harus dengan pengkajian yang kritis
dan menggunakan pandangan alam Islam (Islamic Worldview), sehingga umat
Islam bisa bersikap adil terhadap pemikiran yang datang dari luar Islam dan
menempatkan sesuai porsinya. Yang baik bisa kita ambil, yang tidak sesuai dengan
Islam kita buang. Dari sini diharapkan lahir kader-kader Islam yang memiliki
keluasan ilmu serta semangat dakwah yang tinggi dalam membela Islam.
Ketiga,
melalui jalur politik. Caranya umat Islam yang diberi amanah sebagai wakil
rakyat harus berjihad untuk menghasilkan Rancangan Undang-undang atau
Undang-undang yang berpihak kepada umat Islam. Mereka juga harus berani menolak
dengan lantang jika ada RUU atau UU yang bertentangan dengan ajaran dan
nilai-nilai Islam. Sebab jika RUU ataupun UU yang bermasalah tersebut dibiarkan
saja maka kelompok anti Islam akan semakin menjadi-jadi dalam menyebarkan
berbagai ide dan pemikirannya dan akan berdalih semua itu ada payung hukumnya.
Semua
langkah itu tentunya harus didukung oleh semua kaum muslimin khususnya dukungan
secara finansial. Sebab tanpa bantuan dari para dermawan muslim, sulit rasanya
untuk membendung arus liberalisasi yang didukung dana melimpah dari berbagai
yayasan dan lembaga dari Barat. Adalah sebuah ironi jika musuh Islam rela
menghabiskan dana yang begitu besar untuk menghancurkan Islam, sementara umat
Islam masih berpikir seribu kali untuk mengeluarkan sebagian kecil hartanya
dalam mendukung dan mempertahankan eksistensi Islam.
D. Penutup
Tantangan demi
tantangan akan terus datang dan coba menghancurkan eksistensi Islam. Dan semakin
hari, terlihat bahwa kelompok anti Islam
begitu gigih menjalankan misinya dengan menggunakan berbagai cara. Tak ada cara
lain untuk menghadang dan menjawab tantangan tersebut kecuali umat Islam harus bersatu
dan berjuang bersama dalam medan dakwah sesuai kapasitasnya masing-masing dengan
berpedoman ilmu yang benar sesuai petunjuk Allah swt dan Rasulullah saw.
Yakinlah! Selama kita menolong agama Allah, Allah pasti akan memberikan
pertolongan-Nya dan mengokohkan kedudukan kita. In tanshurûllaâa, yanshurkum
wa yutsabbit aqdâmakum. (QS Muhammad:7). Wallâhu a’lam bis shawâb.
Daftar Pustaka
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam and Sekularisme, Terjemah:
Dr. Khalif Muammar, M.A., dkk, (Bandung: PIMPIN, cet. 2011)
al-Ghazâli, Abû Hâmid Muhammad, Bidâyat
al-Hidâyah, (Surabaya: Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-Arabiyyah, Tanpa Tahun)
al-Ghazâli Muhammad, Kebenaran yang Pahit, Kritik dan Otokritik
Terhadap Dunia Islam, (Jakarta:Lentera, 2002),
Ghazali, Abdul Moqsith, Argumen Metodologis CLD KHI http://islamlib.com/id/artikel/argumen-metodologis-cld-khi/
Husaini, Adian dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan
Tafsir al-Qur’an, (Jakarta:Gema Insani Press, 2007)
Husaini, Adian, Hegemoni Kristen Barat dalam Studi Islam di
Perguruan Tinggi, (Jakarta:Gema Insani Press, 2006)
____________, Prof Azyumardi: Pendidikan Islam di IAIN adalah
Islam Liberal,http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=221:prof-azyumardi-pendidikan-islam-di-iain-adalah-islam-liberal&catid=1:adian-husaini
___________, Membendung Arus Liberalisme di Indonesia, Kumpulan
Catatan Akhir Pekan DR Adian Husaini, (Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2009)
___________, Kesetaraan Gender Perspektif Islam dalam Jurnal
Islamia Republika edisi Kamis 22 Maret 2012.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta:UI
Press, cetakan 2009)
Salim, Fahmi, Kritik
Terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif, 2010)
al-Sya’rani, Ahmad bin Ali al-Anshari, al-Mizan al-Kubra, (Mesir:
Dar al-Fikr, tanpa tahun)
Thoha, Anis
Malik, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis (Jakarta:Perspektif,
2005).
[1] Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, Islam and Sekularisme, Terjemah: Dr. Khalif Muammar,
M.A., dkk, (Bandung: PIMPIN, cet. 2011), hlm. 165
[2] Untuk memahami
lebih dalam tentang pluralisme agama silakan merujuk buku karya Dr Anis Malik
Thoha, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan Kritis (Jakarta:Perspektif,
2005). Buku ini merupakan disertasi penulisnya yang telah memberikan kontribusi
besar dalam bidang studi agama dan dakwah Islam. Dalam buku ini penulisnya
menarik sebuah kesimpulan bahwa teori-teori pluralisme agama tidak hanya
sekedar teori yang terbuka, tapi lebih dari itu telah menjadi pandangan hidup (worldview)
yang menggantikan agama, dan tidak hanya sebagai salah satu tema pandangan
hidup (worldview-theme), karena telah juga memiliki
karakteristik-karakteristik agama. Lihat hlm. 175. Singkatnya, pluralisme agama adalah “agama
baru” yang akan menghancurkan eksistensi agama-agama yang ada, termasuk Islam.
[3] Adian Husaini
dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an,
(Jakarta:Gema Insani Press, 2007) hlm. 12-14
[4] Fahmi Salim, Kritik
Terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif, 2010), hlm.
80. Buku ini adalah Tesis penulisnya ketika di Universitas al-azhar, Kairo.
Tesis ini membahas tentang hermeneutika secara komprehensif . Selain mendapat
predikat luar biasa (Mumtaz) tesis ini juga mendapat tambahan predikat
berupa Rekomendasi untuk dicetak dan pertukaran antar universitas.
[5] Paus
Benedictus sendiri mengakui bahwa al-Qur’an memang berbeda dengan Bible. Daniel
Pipes, seorang “ilmuwan garis keras” dalam memandang Islam, mengutip dari
Pastor Joseph D Fessio bahwa Paus menyatakan “Bahwa dalam pandangan tradisional
Islam, Tuhan telah menurunkan kata-kata-Nya kepada Muhammad, yang merupakan
kata-kata abadi. Al-Qur’an sama sekali bukan kata-kata Muhammad. Karena itu
bersifat abadi, sehingga tidak ada peluang untuk menyesuaikannya dengan kondisi
dan situasi atau menafsirkannya kembali.” Dan menurut Paus, sifat al-Qur’an
yang semacam itu memiliki perbedaan utama dengan konsep dalam Yahudi dan
Kristen. Pada kedua agama ini, kata Paus, Tuhan bekerja melalui makhluk-Nya.
Maka kata-kata dalam Bible, bukan hanya kata-kata Tuhan, tetapi juga kata-kata
Isaiah, kata-kata Markus. Dalam istilah Paus “Tuhan menggunakan manusia dan
memberikan inspirasi kepada mereka untuk mengungkapkan kata-kataa-Nya kepada
manusia.” Lihat Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan
Tafsir al-Qur’an, hlm. 10
[6] Adian Husaini
dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir al-Qur’an, hlm.
20-21
[7] Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta:UI Press,
cetakan 2009), jilid I, hlm. 15
[8] Ibid, jilid I,
hlm. 38-39
[9] Ibid, jilid I,
hlm. 23, jilid II hlm. 20-21
[10] Selengkapnya
lihat Adian Husaini, Hegemoni Kristen Barat dalam Studi Islam di Perguruan
Tinggi, (Jakarta:Gema Insani Press, 2006), hlm. 275-278
[11] Adian Husaini
dalam Prof Azyumardi: Pendidikan Islam di IAIN adalah Islam Liberal,
dikutip dari http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=221:prof-azyumardi-pendidikan-islam-di-iain-adalah-islam-liberal&catid=1:adian-husaini
[12] Selengkapnya
baca Adian Husaini, Membendung Arus Liberalisme di Indonesia, Kumpulan
Catatan Akhir Pekan DR Adian Husaini, (Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2009)
hlm. 363-369
[13] Ahmad bin Ali
al-Anshari al-Sya’rani, al-Mizan al-Kubra, (Mesir: Dar al-Fikr, tanpa
tahun), hlm.60
[14] Abdul Moqsith
Ghazali dalam Argumen Metodologis CLD KHI selengkapnya baca http://islamlib.com/id/artikel/argumen-metodologis-cld-khi/
[15] Selengkapnya
baca Adian Husaini, Kesetaraan Gender Perspektif Islam dalam Jurnal
Islamia Republika edisi Kamis 22 Maret 2012.
[16] Muhammad al-Ghazali, Kebenaran yang Pahit, Kritik dan Otokritik
Terhadap Dunia Islam, (Jakarta:Lentera, 2002), hlm. 18
[17]Abû Hâmid
Muhammad al-Ghazâli, Bidâyat al-Hidâyah,
(Surabaya: Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-Arabiyyah, Tanpa Tahun), hlm. 32
Subhanallah, keren artikelnya...semangat blogging.
ReplyDeleteThank you Yus, baru belajar nulis sih...hehehe
ReplyDeletekang ,,, izin copy ya... syukran wajazakallahu khoir
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete